megaswaranews.com, Polemik terkait kepemilikan empat pulau yang berada di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) kembali menjadi sorotan publik. Keempat pulau tersebut yakni Pulau Mangkir Besar (Mangkir Gadang), Pulau Mangkir Kecil (Mangkir Ketek), Pulau Lipan, dan Pulau Panjang kini menjadi sengketa dua provinsi.
Ketegangan muncul setelah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menetapkan keempat pulau itu sebagai bagian dari wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Padahal, selama ini pulau-pulau tersebut secara administratif berada dalam wilayah Kabupaten Aceh Singkil.
Keputusan tersebut ditentang keras oleh Pemerintah Provinsi Aceh dan masyarakat setempat. Mereka menilai keputusan itu dilakukan secara sepihak dan mengabaikan sejarah serta kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya.
Lebih lanjut, dugaan adanya kandungan minyak dan gas bumi (migas) di kawasan tersebut memunculkan kecurigaan bahwa kepentingan ekonomi menjadi faktor utama di balik alih wilayah ini.
Anggota DPR RI asal Aceh, Muslim Ayub, menilai bahwa potensi migas di kawasan tersebut merupakan alasan kuat di balik pengalihan batas wilayah.
“Potensi migas sangat besar di sana. Diduga ini yang jadi motif utama di balik keputusan Kemendagri,” ujarnya.
Sementara itu, Gubernur Aceh Muzakir Manaf menegaskan bahwa secara historis dan administratif, keempat pulau itu adalah bagian dari Aceh. Ia mengklaim pihaknya memiliki data, bukti, dan dasar hukum kuat untuk membuktikan kepemilikan tersebut.
“Kami punya bukti dan data yang kuat. Sejak dulu wilayah itu memang milik Aceh,” kata Muzakir.
Pemprov Aceh juga menyayangkan pernyataan Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri yang menyebut keputusan tersebut berdasarkan batas darat. Padahal menurut Pemprov, batas wilayah laut antara Aceh dan Sumut masih bersengketa, dan belum ada kesepakatan resmi.
Mereka juga mengingatkan Kemendagri agar tidak mengabaikan kesepakatan tahun 1992 antara Gubernur Aceh dan Sumut yang menyatakan keempat pulau tersebut berada di wilayah Aceh.
Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla (JK) turut menanggapi polemik ini. Ia mengingatkan bahwa penyelesaian sengketa wilayah seharusnya mengacu pada Perjanjian Helsinki tahun 2005 antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
“Perbatasan Aceh itu seharusnya merujuk pada kondisi 1 Juli 1956, sebagaimana tertulis dalam Pasal 1.1.4 Perjanjian Helsinki,” ujar JK dalam konferensi pers di kediamannya, Jumat (13/6).
Di pihak lain, Ketua DPRD Sumut Erni Ariyanti menyatakan dukungan terhadap keputusan Kemendagri. Ia menegaskan bahwa penetapan tersebut telah melalui proses panjang dan kajian ilmiah yang matang.
“Keputusan itu ada dasar kuatnya. Maka kami juga akan mempertahankannya,” kata Erni di Medan, Kamis (12/6).
Merespons kontroversi ini, Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya menyampaikan bahwa Kemendagri akan melakukan kajian ulang terkait status kepemilikan empat pulau tersebut. Kajian ini akan dipimpin langsung oleh Menteri Dalam Negeri sebagai Ketua Tim Nasional Penamaan Rupa Bumi.
“Tim akan melakukan kaji ulang secara menyeluruh pada Selasa, 17 Juni 2025,” jelas Bima, Jumat (13/6).





















